jom zikir...

Powered By Blogger

Friday, May 21, 2010

kisah Ahmad Izzah

Suatu petang, di Tahun 1525. Penjara tempat tahanan orang-orang di situ terasa hening mencengkam. Jeneral Adolf Roberto, pemimpin penjara yang terkenal bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan.
Setiap banduan penjara membongkokkan badannya rendah-rendah ketika 'algojo penjara' itu melintasi di hadapan mereka. Kerana kalau tidak, sepatu 'boot keras' milik tuan Roberto yang fanatik Kristian itu akan mendarat di wajah mereka. Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar seseorang mengumandangkan suara-suara yang amat ia benci. "Hai... hentikan suara jelekmu! Hentikan... !" Teriak Roberto sekeras-kerasnya sambil membelalakkan mata. Namun apa yang terjadi? Laki-laki di
kamar tahanan tadi tetap saja bersenandung dengan khusyu'nya.
Roberto bertambah berang. Algojo penjara itu menghampiri kamar
tahanan yang luasnya tak lebih sekadar cukup untuk satu orang.


Dengan marah ia menyemburkan ludahnya ke wajah tua sang tahanan
yang keriput hanya tinggal tulang. Tak puas sampai di situ, ia
lalu menyucuh wajah dan seluruh badan orang tua renta itu dengan
rokoknya yang menyala. Sungguh ajaib... Tak terdengar secuil pun
keluh kesakitan. Bibir yang pucat
kering milik sang tahanan amat galak untuk meneriakkan kata
Rabbi, wa ana 'abduka... Tahanan lain yang menyaksikan
kebiadaban itu serentak bertakbir sambil berkata, "Bersabarlah
wahai ustaz... InsyaALlah tempatmu di Syurga."


Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustaz oleh sesama
tahanan, 'algojo penjara' itu bertambah memuncak marahnya. Ia
memerintahkan pegawai penjara untuk membuka sel, dan ditariknya
tubuh orang tua itu keras-kerasnya sehingga terjerembab di
lantai.


"Hai orang tua busuk! Bukankah engkau tahu, aku tidak suka
bahasa hinamu itu?! Aku tidak suka apa-apa yang berhubung dengan
agamamu! Ketahuilah orang tua dungu, bumi Sepanyol ini kini
telah berada dalam kekuasaan bapa kami, Tuhan Jesus. Anda telah
membuat aku benci dan geram dengan 'suara-suara' yang seharusnya
tidak didengari lagi di sini. Sebagai balasannya engkau akan kubunuh. Kecuali, kalau engkau mahu minta maaf dan masuk agama kami."


Mendengar "khutbah" itu orang tua itu mendongakkan kepala,
menatap Roberto dengan tatapan yang tajam dan dingin. Ia lalu
berucap,


"Sungguh... aku sangat merindukan kematian, agar aku segera dapat
menjumpai kekasihku yang amat kucintai, ALlah. Bila kini aku
berada di puncak kebahagiaan karena akan segera menemuiNya,
patutkah aku berlutut
kepadamu, hai manusia busuk? Jika aku turuti kemahuanmu, tentu
aku termasuk manusia yang amat bodoh."


Sejurus sahaja kata-kata itu terhenti, sepatu lars Roberto sudah
mendarat di wajahnya. Laki-laki itu terhuyung. Kemudian jatuh
terkapar di lantai penjara dengan wajah berlumuran darah. Ketika
itulah dari saku baju penjaranya yang telah lusuh, meluncur
sebuah 'buku kecil'. Adolf Roberto berusaha
memungutnya. Namun tangan sang Ustaz telah terlebih dahulu
mengambil dan menggenggamnya erat-erat. "Berikan buku itu, hai
laki-laki dungu!" bentak Roberto.


"Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk
menyentuh barang suci ini!"ucap sang ustaz dengan tatapan
menghina pada Roberto. Tak ada jalan lain, akhirnya Roberto
mengambil jalan paksa untuk mendapatkan
buku itu. Sepatu lars seberat dua kilogram itu ia gunakan untuk
menginjak jari-jari tangan sang ustaz yang telah lemah.


Suara gemeretak tulang yang patah terdengar menggetarkan hati.


Namun tidak demikian bagi Roberto. Laki-laki bengis itu malah
merasa bangga mendengar gemeretak tulang yang terputus. Bahkan
'algojo penjara' itu merasa lebih puas lagi ketika melihat
tetesan darah mengalir dari jari-jari musuhnya yang telah
hancur.


Setelah tangan tua itu tak berdaya, Roberto memungut buku kecil
yang membuatnya baran. Perlahan Roberto membuka sampul buku yang
telah lusuh. Mendadak algojo itu termenung.


"Ah... seperti aku pernah mengenal buku ini. Tetapi bila? Ya, aku
pernah mengenal buku ini."


Suara hati Roberto bertanya-tanya. Perlahan Roberto membuka
lembaran pertama itu. Pemuda berumur tiga puluh tahun itu bertambah terkejut
tatkala melihat tulisan-tulisan "aneh" dalam buku itu. Rasanya
ia pernah mengenal tulisan seperti itu dahulu. Namun, sekarang
tak pernah dilihatnya di bumi Sepanyol.


Akhirnya Roberto duduk di samping sang ustaz yang sedang
melepaskan nafas-nafas terakhirnya. Wajah bengis sang algojo
kini diliputi tanda tanya yang dalam. Mata Roberto rapat
terpejam. Ia berusaha keras mengingat peristiwa yang dialaminya
sewaktu masih kanak-kanak.


Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan
Roberto. Pemuda itu teringat ketika suatu petang di masa
kanak-kanaknya terjadi kekecohan besar di negeri tempat
kelahirannya ini. Petang itu ia melihat peristiwa yang
mengerikan di lapangan Inkuisisi (lapangan tempat pembantaian
kaum muslimin di Andalusia). Di tempat itu tengah berlangsung
pesta darah dan nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa gugur di
bumi Andalusia.


Di hujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita berhijab (jilbab)
digantung pada tiang-tiang besi yang terpancang tinggi. Tubuh
mereka bergelantungan tertiup angin petang yang kencang, membuat
pakaian muslimah yang dikenakan berkibar-kibar di udara.


Sementara, di tengah lapangan ratusan pemuda Islam dibakar
hidup-hidup pada tiang-tiang salib, hanya karena tidak mahu
memasuki agama yang dibawa oleh para rahib.


Seorang kanak- kanak laki-laki comel dan tampan, berumur sekitar
tujuh tahun, malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi
yang telah senyap. Korban-korban kebiadaban itu telah syahid
semua. Kanak kanak comel itu melimpahkan airmatanya menatap sang
ibu yang terkulai lemah di tiang gantungan. Perlahan-lahan kanak-kanak itu mendekati tubuh sang ummi yang tak sudah bernyawa,
sambil menggayuti abinya. Sang anak itu berkata dengan suara
parau, "Ummi, ummi, mari kita pulang. Hari telah malam. Bukankah
ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang
alif, ba, ta, tsa... .? Ummi, cepat pulang ke rumah ummi... "


Budak kecil itu akhirnya menangis keras, ketika sang ummi tak
jua menjawab ucapannya. Ia semakin bingung dan takut, tak tahu
apa yang harus dibuat . Untuk pulang ke rumah pun ia tak tahu
arah. Akhirnya budak itu berteriak memanggil bapaknya,


"Abi... Abi... Abi... " Namun ia segera terhenti berteriak
memanggil sang bapa ketika teringat petang kelmarin bapanya
diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.


"Hai... siapa kamu?!" jerit segerombolan orang yang tiba-tiba
mendekati budak tersebut. "Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu
Ummi... " jawabnya memohon belas kasih. "Hah... siapa namamu
budak, cuba ulangi!" bentak salah seorang dari mereka.

"Saya Ahmad Izzah... " dia kembali menjawab dengan agak kasar.


Tiba-tiba "Plak! sebuah tamparan mendarat di pipi si kecil. "Hai
budak... ! Wajahmu cantik tapi namamu hodoh. Aku benci namamu.
Sekarang kutukar namamu dengan nama yang lebih baik. Namamu
sekarang 'Adolf Roberto'... Awas! Jangan kau sebut lagi namamu
yang buruk itu. Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan
kubunuh!" ancam laki-laki itu."


Budak itu mengigil ketakutan, sembari tetap menitiskan air mata.

Dia hanya menurut ketika gerombolan itu membawanya keluar
lapangan Inkuisisi. Akhirnya budak tampan itu hidup bersama
mereka.

Roberto sedar dari renungannya yang panjang. Pemuda itu melompat
ke arah sang tahanan. Secepat kilat dirobeknya baju penjara yang
melekat pada tubuh sang ustaz. Ia mencari-cari sesuatu di pusat
laki-laki itu. Ketika ia menemukan sebuah 'tanda hitam' ia
berteriak histeria, "Abi... Abi... Abi... " Ia pun menangis keras,
tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu. Fikirannya terus bergelut
dengan masa lalunya. Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil yang
ada di dalam genggamannya adalah Kitab Suci milik bapanya, yang
dulu sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak
menidurkannya. Ia jua ingat betul ayahnya mempunyai 'tanda
hitam' pada bahagian pusat.


Pemuda bengis itu terus meraung dan memeluk erat tubuh tua nan
lemah. Tampak sekali ada penyesalan yang amat dalam atas
tingkah-lakunya selama ini. Lidahnya yang sudah berpuluh-puluh
tahun lupa akan Islam, saat itu dengan spontan menyebut, "Abi...
aku masih ingat alif, ba, ta, tha... " Hanya sebatas kata itu
yang masih terakam dalam benaknya.


Sang ustaz segera membuka mata ketika merasakan ada titisan
hangat yang membasahi wajahnya. Dengan tatapan samar dia masih
dapat melihat seseorang yang tadi menyeksanya habis-habisan kini
sedang memeluknya.

"Tunjuki aku pada jalan yang telah engkau
tempuhi Abi, tunjukkan aku pada jalan itu... "
Terdengar suara Roberto meminta belas.


Sang ustaz tengah mengatur nafas untuk berkata-kata, lalu
memejamkan matanya. Air matanya pun turut berlinang. Betapa
tidak, jika setelah puluhan tahun, ternyata ia masih sempat
berjumpa dengan buah hatinya, di tempat ini. Sungguh tak masuk
akal. Ini semata-mata bukti kebesaran Allah.


Sang Abi dengan susah payah masih boleh berucap. "Anakku,
pergilah engkau ke Mesir. Di sana banyak saudaramu. Katakan saja
bahwa engkau kenal dengan Syaikh Abdullah Fattah Ismail
Al-Andalusy. Belajarlah engkau di negeri itu,"

Setelah selesai berpesan sang ustaz menghembuskan nafas terakhir
dengan berbekal kalimah indah
"Asyahadu anla IllaahailALlah, wa asyahadu anna
Muhammad Rasullullah... '. Beliau pergi dengan menemui Rabbnya
dengan tersenyum, setelah sekian lama berjuang dibumi yang fana ini.


Kini Ahmah Izzah telah menjadi seorang alim di Mesir. Seluruh
hidupnya dibaktikan untuk agamanya, 'Islam, sebagai ganti
kekafiran yang di masa muda sempat disandangnya. Banyak pemuda
Islam dari berbagai penjuru berguru dengannya... "


Al-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy.

No comments:

Post a Comment